Sebenernya saya sama Silva mau
bahas hal yang ringan-ringan aja awalnya, mungkin karena kami lelah dan butuh
piknik. Eaaaaaaak. Saya kepikiran deh bahas tentang masalah toleransi dan
empati ini, karena saya ingin generasi Arsyad dan Aqila lebih memahami bahwa
negara yang ia cintai ini aman dan damai.
BACA PUNYA SILVA
Saya terlahir dari keluarga yang
cukup berbeda. Keluarga besar saya tidak homogen, ada yang muslim dan
nonmuslim. Berbeda dengan keluarga suami saya, dari kecil ia sudah hidup di
lingkungan yang homogen dan basic agamanya sangat kuat sekali walaupun di lingkungan rumah ia jadi kelompok minoritas.
Mertua saya sudah 10 tahun lebih
menjadi ketua RT, warganya kebanyakan dari kelompok nonmuslim dan dari etnis
tertentu. Maklum mertua tinggal di bilangan pesisir Kelapa Gading. Tapi kami
bisa hidup rukun dan damai, kalau tiba saatnya Lebaran mereka selalu memberikan
buah tangan dan ucapan selamat, kalau tiba waktunya Natal yang pada umumnya
menghabiskan liburan ya kami ini warga yang masih stay di rumah turut menjaga
keamanan dan mengkondusifkan suasana lingkungan meskipun sudah ada satpam
komplek yang bertugas, jika ada warga yang mengadakan kebaktian di rumah ya
kami mempersilahkan jalan depan rumah untuk dipakai area parkir.
Lain lagi ketika saya SMA, teman
sebangku dan teman baik saya berasal dari nonmuslim tapi kami hidup saling
rukun dan damai serta menghargai satu sama lain. Biasanya saya dan teman saya
saling tukeran bekal makanan tapi disaat dia sedang membawa bekal makanan yang
nonhalal dia pasti selalu bilang “kita gak tukeran dulu yaa, mamaku masaknya
nonhalal” dan saya menghargai betapa baiknya dia memberitahu saya.
Semua saling menghargai dan
menghormati.
Indah bukan?
Hablum Minalloh wa Hablum
Minannas. Kalau hubungan dengan Allah
SWT baik, insyaAllah hubungan sesama manusiapun juga baik. Dua aspek yang tidak
dapat dipisahkan karena keduanya sama-sama penting dan harus berjalan seimbang.
Well, saya sih sadar diri ilmunya
masih cetek perlu belajar lebih dalam lagi tapi saya ingin anak saya,
Arsyad paham bahwa ia tinggal di negara yang masyarakatnya plural. Dia harus
bisa menghargai dan menghormati sesama. Ya walaupun umurnya sekarang belum
genap 2 tahun tapi saya percaya bahwa ia akan mencontoh bagaimana orangtuanya
bertindak dalam kesehariannya.
Saya dan suami memang
menginginkan dia sekolah yang berbasic agama tapi saya juga ingin dia tahu dan
paham bahwa sekelilingnya gak melulu sama pasti ada perbedaan. Saya gak ingin
dia jadi pribadi yang hanya pintar bicara moral tapi gak bisa praktik, bicara
toleran tapi intoleran hanya karena gak tahu bagaimana harus toleran.
Lalu gimana caranya agar balita
kita paham tentang empati dan toleransi?
Gak ada kata terlalu dini untuk
mengajaknya belajar apa itu empati dan toleransi, karena hal ini bagian dari
kecerdasan sosial emosional dan hal ini penting untuk dioptimalkan di masa
balita. Kalau saya sih berfikirnya yang sederhana saja dulu seperti mengajarkan
anak agar mau berbagi, tidak menyakiti teman atau siapapun, dan mau minta maaf
jika ia salah.
Gimana anak bisa paham? Ya kita
harus kasih contoh yang konkrit dan role model yang bener. Gimana anak bisa
belajar menghargai, toleran, dan empati kalau di rumah kita ngomong
teriak-teriak ke ART. Lagi-lagi anak itu mesin fotokopi yang hebat dan anak
butuh contoh yang konkrit dari kita. Saya membiasakan untuk melibatkan Arsyad
kalau ada pengemis yang datang menghampiri baiknya kita beri senyum dan
sedekahnya, kalau ia terjatuh ya saya gak lantas menertawakannya pasti saya
tanya “ Arsyad sakit? Yang mana yang sakit?” ini kan menunjukkan bahwa sebagai
orangtua kita berempati karena ia jatuh.
Saya jadi inget waktu saya,
Silva, dan teman-teman GBUS lainnya foto bersama bayi-bayi kami. Ketika satu
bayi menangis maka semua juga ikut-ikutan menangis dan seketika studio foto
milik Mba Hera ramai oleh tangisan bayi. Apa itu empati? Iya menurut saya itu
empati. Jadi sebenernya anak itu sudah punya cikal bakal kecerdasan emosionalnya
tinggal bagaimana kita sebagai orangtua memberikan role model yang benar.
Jadi balik lagi yaak PR-nya adalah
ya ke orangtuanya dulu bagaimana menanamkan nilai-nilai tersebut
dikesehariannya baru ke anak. Share yuk gimana cara mengajarkan balita tentang
empati dan toleransi!
Yes, anak itu meniru dengan cepat, jadi kalo kita melakukan yang positif, insya Allah anak kita pun? Positif.
ReplyDeleteSalam,
Syanu.
iyes, karena anak itu pasti meniru apa yang ia lihat di lingkungan sekitarnya
Deleteteladan is the best ya mba, masih berusaha nih biar jd teladan yg baik :)
ReplyDeletesama mbaa, akupun masih harus banyak belajar lagi
Deleteiya mbak kalo yang pernah aku dapat dri seminar parenting dokter tumbuh kembang anak empati itu memang sebaikya diajarkan sejak dini dengan memberi contoh langsung dalam keseharian
ReplyDeleteiya mba memang harus dioptimalkan sejak dini yaaa biar anak paham tepo seliro
Deleteaku blm nyamepk sini bljrnya sm si kecil ken, tp abis baca ini aku jd pgn masukin bab ini ke tema belajar si ken. tengkiu sharenya ya mbaakk
ReplyDeletesama2 mbaaa, akupun masih harus banyak belajar dan belajar lagi
DeleteAku kalo anak jatoh, kadang malah marah-marah.. Abis dia pecicilan, udah dikasitau jangan pecicilan ttp aja pecicilan sampe jatoh. Huhu. Reminder banget untuk aku sendiri nih, karena anak-anak memang merupakan fotokopi orangtuanya, aku mesti bersifat lebih baik lagi yaaa. Makasi remindernya maaaak
ReplyDeleteBetul bun, anak itu mesin fotocopy yg paling jitu nirunya. Sama nih keluarga dari bapak juga beda2 agamanya, si mbah membebaskan anak2nya milih agama asal rukun. Dari situ saya belajar toleransi tentunya, kalau ingin ditularkan sama anak pastinya kita jgn membeda2kan dalam bergaul itu aja
ReplyDeletesharing yang sangat bermanfaat mbak. Kalau bukan kita yang mengajarkan pada anak-anak mengenai toleransi sejak dini lalu siapa lagi
ReplyDelete